Sesuai
dengan Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahannya yang ke-empat yang
membahas mengenai pendidikan di indonesia, tertulis dan tercantum bahwa
ayat 1 : Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan.
ayat 2 : Setiap warga Negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ini membuktikan bahwa tanggung jawab
Negara atau pemerintah sangatlah besar, karena mereka pun bertanggung jawab
atas kemajuan bangsa ini.
Pengertian Hak dan Kewajiban.
Sebelum memasuki pembahasan lebih
lanjut, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu definisi dasar tentang hak
secara definitif. “Hak” merupakan untuk normatik yang berfungsi sebagai panduan
perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi
manusia dalam rangka menjaga harkat dan martabatnya.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa hak adalah
(1) yang benar,
(2) milik, kepunyaan,
(3) kewenangan,
(4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu,
(5) kekuasaan untuk berbuat sesuatu
atatu untuk menuntut sesuatu, dan
(6) derajat atau martabat.
Pengertian yang luas tersebut pada
dasarnya mengandung prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu
seseorang (pemegang) pemilik keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap
tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka
orang tersebut dapat melakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atau
sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.
Selanjutnya James W. Nickel mengemukakan
unsur-unsur hak, yakni:
a. Pemilik hak,
b. Ruang lingkup penerapan hak, dan
c. Pihak yang bersedia dalam
penerappan hak..
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam
pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat
pada diri manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu
atau dengan instansi.
Dalam kaitan dengan pemerolehan hak,
paling tidak dikemukakan dua teori: pertama, teori Mc Closkey bahwa pemberian
hak adalah untuk dilakukan, dimiliki dan dinikmati atau sudah dilakukan. Kedua:
teori Joel Feinberg bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim
yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan
kewajiban). Di sini berarti antara hak dan kewajiban tidak dapat saling
dipisahkakn. Oleh karena itu, ketika seseorang menuntut hak, juga harus
melakukan kewajiban.
Meskipun
hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi
sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Sudah
sangat jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak warga
negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua
itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan
hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya
memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk memikirkan diri sendiri.
Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang
berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu
dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara
harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu
akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan
aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka
kehidupan masyarakat akan aman sejahtera.
Akan tetapi,
hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila
masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan
pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka
lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat. Para
pejabat dan pemerintah hanya mengobar janji manis kepada rakyat untuk
mendapatkan haknya. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum
mendapatkan haknya.
Olek karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi.Mari kita katakan pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Mari kita menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Olek karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi.Mari kita katakan pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Mari kita menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Menurut Prof.
Dr. Notonagoro :
Hak adalah kuasa
untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan
melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang
pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
Menurut Prof
Notonagoro :
Wajib adalah beban
untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh
pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat
dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.
Kewajiban adalah sesuatu
yang harus dilakukan.
Sehingga secara umum, hak dan
kewajiban dapat didefinisikan sebagai :
Hak
: Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan
penggunaannya tergantung kepada kita sendiri.
Contoh
: Hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari dosen dan sebagainya.
Kewajiban
: Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa
tanggung jawab.
Contoh
: Melaksanakan tata tertib di kampus, melaksanakan tugas yang diberikan dosen
dengan sebaik baiknya dan sebagainya.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DI INDONESIA
Kepedulian
politik pemerintah terhadap pemberantasan kemiskinan pendidikan patut diacungi
jempol. Ini dibuktikan dengan pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20
persen sesuai amanat konstitusi ’45 dari jumlah total Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sebesar Rp. 1.222 triliun untuk tahun 2009. Apabila tahun 2008,
anggaran pendidikan hanya berjumlah Rp. 54,2 triliun atau 15,6 persen, maka
tahun 2009 berjumlah Rp. 224 triliun atau 20 persen (Jawa Pos, 16/8/2008).
Bahkan, anggaran pendidikan 2010 pun juga tidak jauh berbeda dengan 2009.
Namun
di tengah kepedulian politik sangat tinggi pemerintah terhadap dunia
pendidikan, ternyata masih menyisakan persoalan yang hingga kini belum
tersentuh secara serius. Adanya anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang
ikut bersama orang tuanya ke luar negeri, seperti Malaysia tidak mendapat
pelayanan pendidikan dari pemerintah Indonesia sangat jelas merupakan persoalan
yang cukup mengejutkan. Berdasarkan hasil survey Borneo Samudera Sendirian
Berhad Plantation, jumlahnya mencapai 72.000 orang. Mereka berusia rata-rata di
bawah 13 tahun, tidak bisa membaca dan menulis (Kompas, 4 September 2008).
Ini
masih belum berbicara jumlah anak-anak TKI di Singapura, Brunai Darussalam dan
beberapa negara lain, yang juga kurang dan tidak mendapatkan perhatian sangat
tinggi dari pemerintah Indonesia. Yang jelas, jumlah totalnya pun akan semakin
besar. Pertanyaannya adalah inikah yang disebut sebuah kepedulian politik
sangat tinggi terhadap dunia pendidikan demi mencerdaskan anak-anak bangsa?
Terlepas jawabannya "ya" atau "tidak", pemerintah selama
ini memang cenderung meremehkan kondisi persoalan tersebut.
Kondisi
periferi (daerah pinggiran) seolah dianggap tidak ada sehingga tidak mendapat
ruang perhatian secara serius. Ini sungguh ironis. Oleh sebab itu, bila
dikaitkan dengan konstitusi dasar ’45 pasal 31 ayat (1) setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan dan pasal (2)......., pemerintah wajib membiayainya,
maka pemerintah masih diskriminatif terhadap setiap warga negaranya.
Ironis.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita di daerah
perbatasan. Betapa tidak, ketimpangan kualitas pendidikan di kota dengan di
daerah sudah terjadi sedemikian rupa sehingga cerita tentang sekolah rubuh di
daerah perbatasan atau cerita tentang guru yang lari ke negara tetangga, bukan
sekedar mitos belaka. Selanjutnya, untuk memperoleh pemahaman secara lebih
mendalam, permasalahan ini dapat kita tinjau dari sudut pandang hak dan
kewajiban warga negara.
Melihat
kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran umum
untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jika sekilas kita melihat pada
sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin kita bisa berbangga dengan
kondisi pendidikan kita saat ini. Sekolah-sekolah tersebut sudah sangat mapan
dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan guru dari sekolah sekolah elit
selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan mutakhir. Segala
proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan mudah sehingga dapat
menghasilkan murid yang berkualitas. Namun, ketika kita melihat kondisi
pendidikan di daerah perbatasan, keadaan tersebut sungguh berbanding terbalik.
Tak
banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di daerah
perbatasan. Banyak anak di perbatasan Nusantara yang bernasib malang karena tak
dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Di beberapa perkampungan atau dusun
di perbatasan Kalimantan misalnya, anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh
hingga 6 Km melintasi hutan dan menuruni bukit untuk mendapatkan pendidikan di
sekolah setiap hari.
Potret
umum siswa di perbatasan memang sangat memprihatinkan. Namun, nasib para
gurunya pun tak kalah memprihatinkan, terutama para guru honorer yang
kebanyakan honor komite. Para guru tersebut banyak yang harus mengajar 2-3
kelas sekaligus. Hal ini karena kekurangan tenaga guru di sekolah pedalaman.
Guru yang hanya bergaji 100-300 ribu sebulan itu banyak yang dipaksa bekerja
ekstra keras bahkan terdapat ‘tuntutan psikologis’ untuk bekerja lebih besar
daripada guru PNS karena status tidak tetap sebagai guru honorer lebih rentan
daripada guru berstatus PNS yang meskipun sebulan tak mengajar di sekolah masih
akan tetap menerima gaji.
Pendidikan
adalah pilar utama dalam kemajuan sutu bangsa. Tanpa pendidikan negara akan
hancur disamping bidang lainnya seperti Ekososbudhankam. Suatu dikatakan maju
apabila pendidikan negara tersebut berkembang pesat dan memadai. Dengan
pendidikan kita bisa mengetahui sesuatu yang tak diketahui menjadi tahu. Dengan
pendidikan kita bisa meningkatkan potensi diri dan cara berpikir kita, bahkan
dalam suatu riwayat dikatakan, Kalau mau bahagia di dunia haruslah dengan Ilmu,
Kalau mau bahagia di akhirat juga dengan Ilmu, Kalau mau bahagia di dunia dan
di akhirat juga dengan Ilmu. Disini di tekankan bahwa Ilmu itu sangat penting
dan utama, bahkan orang yang berilmu dan bermanfaat bagi orang lain lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan dengan seorang ahli ibadah, tentunya dengan
diikuti oleh keimanan dan ketaqwaan.
Salah
satu cara mendapatkan ilmu adalah dengan pendidikan. Karena dengan pendidikan
seseorang tak akan mudah di bohongi dan di tipu daya. Cara berpikir orang yang
berpendidikan dengan tidak bisa diketahui tentunya, seorang yang berpendidikan
haruslah mencerminkan bahwa dirinya memanglah orang yang terdidik, dan harus
bisa bermanfaat bagi sekitarnya.
Pendidikan
merupakan hal kompleks dan luas, sehingga muncul berbagai masalah. Pendidikan
memerlukan suatu sistem yang benar-benar bagus dan berkualitas. Di Indonesia
menerapkan wajib belajar 9 tahun sedangkan seseorang diterima bekerja rata-rata
mempunyai latar belakang pendidikan formal minimal SLTA atau sederajat.
Sedangkan pendidikan bukan hanya formal melainkan juga informal, dan keutamaan
dari pendidikan adalah pengembangan pola pikir yang lebih baik, bermartabat.
Konstitusi kita
melindungi hak kita untuk mendapatkan pendidikan tertuang dalam Undang-undang
Dasar Pasal 31 yaitu :
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Tetapi sayang sampai
saat ini dalam pelaksanaannya belum semua terlaksana. Anak-anak yang harusnya
mendapatkan hak pendidikan terpaksa membantu orang tua untuk bisa bertahan
hidup sehingga hak-hak dia sebagai anak terabaikan, begitupun yang dapat
mengenyam pendidikan dasar hanya sekedar kewajiban dari orang tua. Sedangkan
sistem pendidikan yang setiap ganti pemimpin ganti sistem pendidikan, tanpa
adanya konsistensi untuk mengembangkan yang sudah baik dan berjalan, sehingga
tidak masuk sampai ke sitem terbawah yaitu warga negara tersebut. Sistem
pendidian yang harusnya bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia kurang dirasakan alias tidak sampai sasaran.
KETIKA HAK PENDIDIKAN
BERUBAH MENJADI KEWAJIBAN
Diterapkannya wajib belajar 9 tahun
merupakan upaya pemerintah dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di
Indonesia. Padahal bila kita telaah lebih rinci, akan tampak bahwa konsep
tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan
UUD 1945.
Dijelaskan dalam UUD 1945,
pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Dengan kata lain pendidikan
merupakan tanggung jawab pemerintah yang diberikan kepada
setiap warga negara di Indonesia.
Definisi antara hak dan kewajiban
tentu saja berbeda. Kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilakukan setiap
orang dan bilamana orang tersebut tidak melaksanakan maka akan mendapat sanksi.
Hal ini terlepas dari mampu dan
tidak mampu seseorang dalam melaksanakan. Dalam
kondisi apa pun seseorang harus
melaksanakan kewajiban tersebut, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi
hak berubah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi setiap warga Negara. Maksud
inilah yang tersirat dari wajib belajar 9 tahun.
Berbeda halnya dengan "Hak
Belajar 9 Tahun". Hak selalu didefinisikan sebagai sesuatu yang harus
diberikan kepada seseorang yang sudah sepatutnya mendapatkan. Terlepas dari
mampu dan tidak mampu. Bila hak seseorang tidak terpenuhi, maka mereka berhak
menuntut apa yang seharusnya mereka dapatkan.
Namun begitu, kita tidak bisa
menjustifikasi apa yang telah ditetapkan pemerintah adalah salah total.
Bagaimanapun konsep wajib belajar 9 tahun juga memiliki sisi positif yang cukup
signifikan. Setidaknya konsep tersebut mampu mendorong etos belajar masyarakat
saat ini. Hanya saja kerancuan muncul seiring perkembangan dan perubahan
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Sayangnya konsep yang bisa dikatakan
rancu (wajib belajar 9 tahun) ini jarang terpikirkan oleh kita semua. Kembali
lagi, pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga dan sekaligus
tanggung jawab pemerintah berakhir menjadi sebuah kewajiban yang harus
dilakukan warga Negara.
Wajar jika masih banyak warga Negara
yang belum mendapat pendidikan secara sempurna dikarenakan ketidakmampuan untuk
memenuhi tuntutan tersebut.
Tradisi putus sekolah telah menjamur
hingga menjadi persoalan global. Realitas tersebut hendaknya dijadikan renungan
untuk merekonstruksi konsep wajib belajar 9 tahun agar sesuai dengan UUD 1945.
Pioneer Pendidikan
Tragisnya permasalahan pendidikan
sering dikesampingkan. Tidak hanya pernerintah melainkan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) juga enggan menyikapinya. Mereka lebih tertarik permasalahan
sosial politik yang bisa mendapatkan materi sekaligus kredibilitas institusi di
mata publik. Tak ayal jika permasalahan pendidikan yang sangat kompleks saat
ini hanya dijadikan selingan untuk meraih simpati semata.
Pelajar Islam Indonesia (PII) salah
satu organisasi yang berbasis pelajar hendaknya bisa menjadi pionir untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pendidikan. Hari jadi yang
ke - 58, 4 Mei, merupakan saat yang tepat bagi PII untuk memberikan kontribusi
nyata terhadap dunia pendidikan. Seringnya PII hanya terjebak pada persoalan
intern organisasi.
Jika kita merunut pada tujuan
organisasi yaitu "kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai
dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia", maka yang
harus dilakukan PII adalah menyempurnakan konsep pendidikan baik dari segi
fisik maupun nonfisik.
Bisa dikatakan saat ini PII hanya
berkutik pada permasalahan pelajar yang sifatnya praktis. Seharusnya PII juga
mempertimbangkan hal yang bersifat teoritis seperti konsep pendidikan yang
berlaku di Indonesia. Apakah sudah sesuai atau belum, sehingga persoalan
pendidikan juga bisa teratasi dengan sempurna.
Maka dari itu, hendaknya PII mampu
menjadi penggerak dalam rangka menentukan arah pendidikan ke depan yang sesuai
dengan UUD 1945. Kesan "ikut arus " harus diubah. Dalam artian PII
dituntut mampu mengkritisi segala kebijakan pemrintah yang dirasa kurang sesuai
dengan kondisi riil di lapangan.
Memberi Kontribusi Nyata
Menyusun satu konsep bukanlah hal
yang mudah. Terlebih pada persoalan yang sifatnya urgen. Satu contoh kebijakan
wajib belajar 9 tahun yang bertolak belakang dengan konsep UUD 1945. Namun
semua itu bisa disiasati dengan metode-metode tersendiri.
PII yang berbasis pelajar tentunya
lebih berkompeten dalam menginventarisasi permasalahan pelajar. Dari sinilah
sumbangsih pikir bisa diberikan dalam upaya menyusun konsep pendidikan yang
sempurna.
Acapkali pro dan kontra muncul
ketika konsep tersebut tengah menjadi rancangan. Hal ini terjadi karena pada
proses pembuatan kurang sernpurna. Wajar jika banyak kegagalan yang
bermunculan.
Konsep pendidikan yang ideal adalah
konsep yang dirasa mampu mengakomodasi segala persoalan baik yang bersifat
urgen maupun tidak. Maka dari itu PII harus bisa memberikan kontribusi nyata
sebagai wujud pengabdiannya di bidang pendidikan.
Dengan begitu akan terwujud satu
konsep pendidikan yang ideal yang mampu mengakomodasi segala persoalan
pendidikan. Pemerintah tidak akan mampu menciptakan satu konsep yang ideal
tanpa kontribusi dari pihak mana pun.
Penerapan kebijakan wajib belajar 9
tahun tidak selamanya kesalahan dari pihak pemerintah. Melainkan kurangnya
kontribus dari lembaga yang berkompeten terhadap dunia pendidikan.
Berdasarkan
segala permasalahan yang ditemui diatas maka pemerintah harus mengambil langkah
tegas, cepat dan tangkas dalam mengentas kemiskinan pendidikan di semua lini,
termasuk nasib pendidikan anak TKI yang berada di luar negeri. Ini sebagai
tanggung jawab politik pemerintah Indonesia demi penyelenggaraan pemerataan
pendidikan. Anak-anak negeri, termasuk mereka yang tinggal di luar negeri
merupakan aset bangsa yang harus diselamatkan. Sebab mereka adalah calon
pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang.
Meningkatkan
kepekaan dan kesadaran pengayoman terhadap setiap warga negaranya di luar
negeri, tidak hanya dalam negeri adalah sebuah keniscayaan. Memberikan ruang
hak politik yang sama kepada setiap warga negara Indonesia guna mendapat akses
pendidikan secara adil serta merata harus dijunjung dengan sedemikian tinggi.
Sebab berbicara hak sangat lekat dengan hak dasar hidup setiap warga negara
Indonesia yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum dari konstitusi dasar
1945.
Oleh
karenanya, pemerintah Indonesia pun harus berani menjalankan amanat konstitusi
dasar 1945 secara kongkrit, harus menjalankannya dengan sedemikian konsisten.
Supaya program pengentasan kemiskinan pendidikan bagi anak-anak Indonesia di
luar negeri kemudian bisa berjalan secara maksimal dan optimal, maka ada
beberapa hal yang harus dilaksanakan pemerintah di bawah kendali langsung
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pertama, melakukan kerjasama dengan
Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) di Malaysia serta negara-negara
lain yang juga dihuni oleh warga negara Indonesia menjadi penting untuk
dilakukan sebagai upaya memeroleh database anak-anak Indonesia yang masih buta
aksara.
Kedua,
mengadakan kerjasama dengan pemerintah luar negeri, seperti Malaysia dan lain
seterusnya dimana masyarakat Indonesia berdomisili serta beberapa
Non-Governmental Organization (NGO)-nya sebagai upaya mendapat database
tambahan yang lebih dan semakin valid terkait anak-anak Indonesia yang masih
buta huruf pun harus digelar. Ketiga, selanjutnya membangun sekolah-sekolah
dari tingkat dasar hingga atas, dilengkapi dengan segala infrastruktur maupun
suprastruktur lainnya di setiap negara asing yang ditujukan untuk menampung
setiap anak Indonesia supaya memeroleh pendidikan 12 tahun perlu segera dipraksiskan.
Keempat, mengirimkan guru-guru berkualitas pun sangat penting untuk dilakukan.
Salah satu usaha pemerintah dalam
memperbaiki sistem pendidikan di Negara kita adalah dengan membuat
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
berintikan :
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Pasal 12
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak :
o mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
o mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya;
o mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
o mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
o pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara;
o menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.
Pasal 15
[...] Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta
didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah.
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu
dari segi ekonomi. [...]
Pasal 34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. [...]
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan.
Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Pasal 54
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,
pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Tetapi memang lebih penting realisasinya dalam kehidupan sehari-hari
daripada hanya sekedar pembuatan UUD baru. Ini merupakan pekerjaan besar
pemerintah dan juga tanggung jawab semua warga Negara.
|
||||||||||
Pasal-pasal Lain dalam
UUD 1945 yang Mengatur Hak dan Kewajiban Warga Negara.
Wujud hubungan anatara warga negara dengan negara adalah pada umumnya
adalah berupa peranan(role). Peranan pada dasarnya adalah tugas apa
yang dilakukan sesuaidengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga
negara.
Hak dan kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai
pasal 34 UUD 1945. Bebarapa hak warga negara Indonesia antara lain
sebagai berikut :
a. Pasal 27 ayat (1) menetapkan hak warganegara yang
sama dalam hukum dan pemerintahan, serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan
pemerintahan.
b. Pasal 27 ayat (2) menetapkan hak warganegara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
c. Pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945
menetapkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam upaya
pembelajaran negara.
d. Pasal 28 menetapkan hak dan kemerdekaan warganegara
untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
e. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan adanya hak kemerdekaan
untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat menurut agamanya.
f. Pasal 30 ayat (1) dalam Perubahan Kedua UUD 1945
menyebutkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
g. Pasal 31 ayat 1-5 mengatur tentang Hak untuk mendapat
pendidikan yang layak , kewajiban belajar ,Sistem pendidikan Nasional ,dan
Peran pemerintah dalam bidang Pendidikan dan kebudayaan
h. Pasal 33 ayat 1-5 mengatur tentang pengertian
perekonomian ,Pemanfaatan SDA , dan Prinsip Perekonomian Nasional.
i. Pasal 34 ayat 1-4 mengatur tentang Perlindungan
terhadap fakir miskin dan anak terlantar sebagai tanggung jawab negara.
Jika kita kelompokkan, hak dan kewajiban warga negara yang diatur dalam
UUD 1945 meliputi bidang-bidang :
e. Hak dan Kewajiban dalam UUD 1945 dalam Bidang
Usaha dan Pertahanan Negara.
Di tegaskan bahwa tiap – tiap warga Negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Usaha
pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia,sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat
–syarat keikutsertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
Negara, serta hal – hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur
dengan undang –undang.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 30
Ayat (1) : menyebutkan tentang hak dan kewajiban
tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Ayat (2) : menyebutkan usaha pertahanan dan keamanan
rakyat,
Ayat (3) : menyebutkan tugas TNI sebagai
"mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
negara".
Ayat (4) : menyebut tugas Polri sebagai
"melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum".
Ayat (5) : menggariskan, susunan dan kedudukan,
hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta hal-hal lain
yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, diatur dengan undang-undang
(UU).
Dari pembacaan Pasal 30 secara utuh dapat
disimpulkan, meski TNI dan Polri berbeda dalam struktur organisasi, namun
dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing keduanya bekerja sama dan
saling mendukung dalam suatu "sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta". Pengaturan tentang sinkronisasi tugas pertahanan negara (hanneg)
dan keamanan negara (kamneg) itulah yang seyogianya ditata ulang melalui
undang-undang yang membangun adanya "ke-sistem-an" yang baik dan
benar.
Tanggal 8 Januari Tahun 2002 DPR melahirkan UU No 2
dan UU No 3 Tahun 2002, masing-masing tentang Polri dan tentang Hanneg, hasil
dari Ketetapan MPR No VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri .
Pada 18 Agustus 2000 Komisi Konstitusi meresmikan Amandemen Kedua UUD 1945
yang menghasilkan Ayat (2) Pasal 30 UUD 1945 dengan rumusan sistem "han"
dan "kam" serta "ra" dan "ta" . Pada Agustus
2003 Ketetapan I MPR Tahun 2003 menggugurkan Ketetapan VI dan VII MPR Tahun
2000 setelah ada perundang-undangan yang mengatur Polri dan tentang Hanneg.
Pertengahan Oktober 2004 DPR meluluskan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU
tentang Hanneg, UU tentang Polri, dan UU tentang TNI. Namun, hingga kini
belum ada UU tentang "Keamanan Negara" guna merangkai
"Kamneg" dalam satu sistem dengan "Hannneg" (kata
"dan" antara "han" dan "kam" untuk membedakan
dan memisahkan organisasi TNI dari Polri). Sayang, UU tentang Polri, UU
tentang Hanneg, dan UU tentang TNI sama sekali tidak menyebut "sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta" sebagai landasan pokok pemikiran
bahwa ada kaitan sinergis antara fungsi "pertahanan negara" dan
"keamanan negara".
Oleh karena itu, apabila kita konsisten dengan
amanat Pasal 30 Ayat (2), yaitu membangun sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta, perlu disiapkan UU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
yang lebih bermuatan semangat dan kinerja "sishankamrata". Bila
penyebutan pertahanan negara (hanneg) dan keamanan negara (kamneg) dipilih
sebagai peristilahan baku, dari logikanya seharusnya ada UU Keamanan Negara
yang mewadahi UU Polri. Sebagaimana pasal-pasal dalam UU Hanneg menyebut,
pertahanan negara bukan sekadar mengurus tentang TNI, maka UU Kamneg perlu
menegaskan, keamanan negara bukan sekadar tugas dan wewenang Polri.
Penjelasan UU tentang TNI menyebutkan, "di masa mendatang TNI akan berada
dalam Departemen Pertahanan (Dephan)", suatu pengukuhan konsep dan
praktik supremasi sipil serta efisiensi kebijakan, strategi, dan penggunaan
kekuatan TNI. UU Polri pun perlu "ditemani" UU Kamneg yang kelak
mengintegrasikan Polri ke dalam suatu institusi sipil (misalnya, Departemen
Dalam Negeri) sebagaimana Dephan kelak menjadi instansi yang mengintegrasikan
TNI di dalamnya.
Dephan menyiapkan naskah akademik melalui
undang-undang yang :
1) Mencerminkan adanya "kesisteman" antara
pertahanan negara dan keamanan negara;
2) Mengandung adanya semangat kerja sama TNI dan
Polri dalam departemen dengan otoritas sipil yang berbeda; dan
3) Membina kerja sama, baik antara fungsi TNI dan
fungsi Polri di lapangan; diharapkan "merapikan" dan
"menyelaraskan" pasal-pasal yang ada dalam UU tentang Polri, UU
tentang Hanneg serta UU tentang TNI.
Pasal 30 UUD 1945 menerangkan bahwa, pertahanan
negara tidak sekadar pengaturan tentang TNI dan bahwa keamanan negara tidak
sekadar pengaturan tentang Polri. Pertahanan negara dan keamanan negara perlu
dijiwai semangat Ayat (2) tentang "sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta". Makna dari bunyi Ayat (5), “yang terkait pertahanan dan
keamanan negara, diatur dengan undang-undang" adalah bahwa RUU, UU, dan
Peraturan Pemerintah lain seperti RUU Intelijen, UU tentang Keimigrasian, UU
tentang Kebebasan Informasi, UU Hubungan Luar Negeri, RUU tentang Rahasia
Negara, UU tentang Otonomi Daerah, dan hal-hal lain yang terkait pertahanan
dan keamanan negara perlu terjalin dalam semangat kebersamaan "sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta".
Setelah melantik Kabinet Indonesia Bersatu 21
Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggariskan bahwa sebagai
seorang "konstitusionalis" ia bertekad agar hal-hal yang
berhubungan dengan penyelenggaraan negara taat pada ketentuan UUD 1945.
Sejalan dengan tekad itu, perluasan dan pendalaman
sekitar makna Pasal 30 UUD 1945 adalah salah satu tugas menteri pertahanan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30
tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan
diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib
ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan
dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan
Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok
Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan
Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI
dengan POLRI.
5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan
POLRI.
6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara.
Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang
Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela
negara.
Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi
bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar
(seperti siskamling).
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam
negeri.
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti
Paskibra, PMR dan Pramuka.
Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya
kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai
macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara
Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi
kedaulatan dan kesatuan NKRI.
Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan
pertahanan dan keamanan negara :
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut,
udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara
baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengerusakan lingkungan.
|
||||||||||
Pada intinya, semua hak dan kewajiban haruslah
dilakukan secara seimbang dan berdasarkan atas dasar Negara kita, yaitu
Undang-undang Dasar tahun 1945. Begitu juga dengan hak dan kewajiban dalam
bidang pendidikan, warga Negara memang berhak menerima pendidikan yang layak
yang juga harus disediakan oleh pemerintah. Tetapi, sebagai balasannya warga
Negara juga berkewajiban meningkatkan kualitas pendidikan Negara dengan
menorehkan prestasi-prestasi yang membuat harum nama Negara Indonesia dan
mendidik generasi penerus bangsa.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar